MATERI DAN METODE
Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak
dengan materi Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Ternak dilaksanakan pada
hari Senin, tanggal 7 Oktober 2013 pukul 09.00-11.00 WIB di Laboratorium
Genetika, Pemuliaan dan Reproduksi Fakultas Peternakan dan Pertanian
Universitas Diponegoro, Semarang.
1.1.
Materi
Dalam
praktikum Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Ternak menggunakan bahan yaitu
organ reproduksi jantan dan betina pada sapi, babi dan domba. Sedangkan
alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah nampan sebagai tempat untuk
meletakkan organ reproduksi ternak yang diamati, kertas keterangan alat
reproduksi untuk memberi nama alat reproduksi ternak, jarum pentul untuk
menempelkan kertas keterangan alat reproduksi sesuai dengan bagiannya, dan alat
tulis untuk menggambar dan mencatat hasil pengamatan organ reproduksi ternak.
1.2. Metode
Metode
yang dilakukan dalam praktikum Anatomi dan Fisiologi Organ Reproduksi Ternak
adalah melakukan pengamatan terhadap organ reproduksi jantan dan betina pada
sapi, domba, dan babi. Memberi tanda pada bagian-bagian dari organ reproduksi
dengan menggunakan kertas keterangan alat reproduksi yang telah disediakan dan
menempelkan dengan jarum pentul pada organ yang sesuai. Menggambar
masing-masing organ reproduksi ternak tersebut, kemudian memberikan fungsi dan
keterangan pada bagian-bagiannya.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
2.1. Anatomi Organ Reproduksi
Jantan
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh hasil anatomi dan fisiologi organ reproduksi jantan
pada sapi, domba dan babi sebagai berikut:
|
7
8
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi
Ternak, 2013
|
|
Sumber : Sorenson, 1979 dalam Yusuf, 2012
|
|
5
6
7
8
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi
Ternak, 2013
|
|
Sumber : Sorenson, 1979 dalam Yusuf, 2012
|
|
3
4
5
8
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi
Ternak, 2013
|
|
Sumber : Sorenson, 1979 dalam Yusuf, 2012
|
Ilustrasi 1.
Anatomi Organ Reproduksi Sapi, Domba dan Babi
Keterangan : 1. Testis, 2. Epididimis:
a. Caput, b. Corpus, c. Cauda, 3. Kelenjar
Asesoris: a. Prostate, b. Versikularis, c. Cowper,
4. Ampula,
5.Sigmoid Flexura 6. Retractor Penis Muscle, 7. Penis, 8. Gland
Penis.
Berdasarkan
hasil praktikum
yang telah dilakukan
mengenai pengamatan preparat segar alat reproduksi sapi jantan,
domba jantan, dan babi jantan diperoleh bahwa alat reproduksi sapi jantan
terdiri dari testis, epididimis, kelenjar aksesori, ampula, sigmoid flexura, retractor penis muscle, penis dan gland penis. Alat reproduksi domba
jantan terdiri dari testis, epididimis, ampula, sigmoid flexura, retractor penis muscle, penis dan gland penis. Sedangkan alat reproduksi
babi jantan terdiri dari kelenjar aksesori, sigmoid flexura, retractor penis muscle, penis dan gland penis. Alat reproduksi domba
jantan dan babi jantan tidak lengkap seperti pada sapi jantan karena dalam
pengambilan di rumah potong hewan tidak diberikan secara lengkap. Hal ini
sesuai dengan pendapat Toelihere (1981) yang menyatakan
bahwa organ reproduksi jantan terdiri atas gonad, saluran reproduksi,
kelenjar-kelenjar aksesoris kelamin, dan organ kopulaturis. gonad pada jantan
yaitu testis, saluran reproduksi meliputi epididimis, ductus deferens, dan urethra,
sedangkan kelenjar-kelenjar aksesoris terdiri dari ampula, kelenjar
vesikularis, kelenjar prostat, dan kelenjar cowper. Diperkuat oleh pendapat
Yusuf (2012) bahwa organ kelamin primer adalah testis yang belokasi di dalam
skrotum yang menggantunga secara eksternal di daerah inguinal, organ kelamin
sekunder terdiri dari jaringan-jaringan ductus
sebagai transportasi spermatozoa dari testis ke bagian luar termasuk didalamnya
ductus deferens,
epididimis, vas deferens,
penis dan uretra, serta organ aksesori terdiri dari kelenjar prostat, seminal
vesikularis dan kelenjar bulbo-urethral
(Cowper’s).
2.1.1. Testis
Testis
adalah organ reproduksi jantan pada manusia dan hewan. Testis berada di luar
tubuh dan terbungkus oleh kantong yang bernama skrotum. Testis berfungsi untuk
menghasilkan sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1981) yang
menyatakan bahwa testis terletak pada daerah prepubis, terbungkus dalam kantong skrotum dan digantung oleh funiculus spermaticus yang mengandung
unsur-unsur yang terbawa oleh testis dalam perpindahannya dari cavum abdominalis melalui canalis inguinalis ke dalam skrotum. Ditambahkan oleh Djanuar
(1985) bahwa testis sebagai organ reproduksi primer yang mempunyai dua fungsi
utama yaitu memproduksi spermatozoa dan mensekresikan hormon kelamin jantan
yang berupa testosterone. Testis ini
diselubungi oleh selapis tenunan pengikat yang tipis dan elastis.
2.1.2. Epididimis
Epididimis
adalah pipa panjang dan berkelak-kelok sebagai alat penghubung. Epididimis itu
sendiri mempunyai fungsi sebagai transportasi, konsentrasi, penyimpanan, dan
maturasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa
epididimis adalah suatu struktur memanjang yang bertaut rapat dengan testis. Ia
mengandung ductus epididimidis yang sangat
berliku-liku, dan mencapai panjang lebih dari 40 meter pada jantan dewasa dan
kurang lebih 60 meter pada babi dan 80 meter pada kuda. Epididimis dapat dibagi atas
kepala, badan, dan ekor. Hal ini sesuai dengan pendapat Yusuf (2012) yang
menyatakan bahwa epididimis berfungsi sebagai transportasi, yaitu untuk
mengangkut spermatozoa, konsentrasi, yaitu untuk konsentrasi spermatozoa, penyimpanan,
yaitu untuk penyimpanan spermatozoa, dan
maturasi, yaitu untuk pematangan spermatozoa.
2.1.3. Vas Deferens
Berdasarkan
hasil pengamatan vas deferens
merupakan saluran penghubung antara urethra
dengan epididimis. Pada ujung vas deferens terdapat pembesaran bagian yang
disebut ampula. Hal ini sesuai dengan
pendapat Toelihere (1981) bahwa vas
deferens yaitu saluran berbentuk tabung bulat, yang menghubungkan
epididimis dengan urethra pada penis.
Hal tersebut didukung oleh Frandson (1992) bahwa pipa berotot yang pada saat
ejakulasi mendorong spermatozoa dari epididimis ke ductus ejakulatoris dalam urethra
prostatic.
Ampula merupakan
pembesaran kelenjar pada bagian ujung vas
deferens yang disebabkan
karena banyak terdapat kelenjar pada dinding saluran. Ampula berfungsi
sebagai muara yang memberikan cairan semen.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Toelihere (1981) yang
menyatakan bahwa ampula mengandung fruktosa dan asam sitrat, meskipun kelenjar vesikularis merupakan
sumber terbesar penghasil substansi ini. Ditambahkan
oleh
Frandson (1992) yang menyatakan bahwa kelenjar ampula ini bermuara kedalam ductus deferens dan memberikan cairan
semen.
2.1.4. Kelenjar
Aksesoris
Kelenjar
aksesoris terletak pada
dinding ductus
deferens,
kelenjar
aksesoris menghasilkan semen
yaitu sebagai media transport sperma. Semen menyediakan kondisi yang baik bagi
nutrisi sperma dan berperan sebagai buffer
ketika berada di saluran reproduksi betina yang bersifat asam. Kelenjar aksesoris pada
hewan jantan terdiri atas kelenjar
vesikularis, kelenjar
prostat dan kelenjar bulbouretralis atau cowper. Hal ini sesuai dengan pendapat
dari Frandson (1992) yang menyatakan bahwa kelenjar-kelenjar kelamin aksesoris
pada hewan jantan meliputi kelenjar
vesikularis/seminalis vesikularis,
kelenjar
prostat dan kelenjar
cowper, kelenjar-kelenjar
ini berfungsi menghasilkan sebagian besar bahan ejakulasi atau semen yang
berperan dalam transport sperma, sebagai medium yang cocok untuk makanan dan
sebagai buffer terhadap sifat
keasamaan yang berlebih pada saluran genital betina. Ditambahkan oleh
pendapat dari Partodihardjo (1980) yang menyatakan bahwa kelenjar aksesoris terletak di dinding ductus
deferens
dan mempunyai
masing-masing fungsi dalam sistem reproduksi individu jantan.
Kelenjar vesikularis, merupakan
kelenjar yang bermuara
dengan ductus deferens
melalui bermacam-macam ductus ejakulatori. Kelenjar
ini berfungsi untuk memberi nutrisi pada sperma
dan memberi
cairan pada sperma.
Hal ini sesuai dengan pendapat dari Partodihardjo (1980) yang
menyatakan bahwa kelenjar vesikularis
mengeluarkan zat cair yang agak kental dan lengket yang mengandung potassium,
asam sitrat, fruktosa dan beberapa macam enzim serta sebagian nutrisi untuk sel
sperma. Ditambahkan oleh Frandson (1992) yang menyatakan
bahwa kelenjar vesikularis
adalah sepasang kelenjar
yang biasanya bermuara
dengan ductus
deferens.
Kelenjar prostat, merupakan kelenjar yang
tidak berpasangan, bentuknya
bulat dan lebih
kecil dari kelenjar
vesikularis. Kelenjar ini menghasilkan sekreta yang bersifat
alkalis yang berperan sebagai buffer
saat berada disaluran reproduksi betina dan memberikan bau yang spesifik yaitus permin pada cairan semen. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Frandson (1992) yang menyatakan bahwa kelenjar prostat
menghasilkan sekresi alkalin yang membantu memberikan bau yang karakteristik
pada cairan semen. Ditambahkan
oleh Blakely dan Bade (1991) yang menyatakan bahwa kelenjar prostat selain
memberikan bau yang khas pada semen tetapi juga mengandung mineral yang tinggi
yang digunakan sebagai bahan makanan untuk sperma dalam semen.
Kelenjar
cowper, merupakan sepasang kelenjar yang terletak pada tiap sisi pelvis urethra,
fungsi kelenjar cowper adalah untuk membersihkan dan
menetralisir urethra dari bekas urin dan
kotoran sebelum ejakulasi berlangsung. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Toelihere
(1981) yang menyatakan bahwa fungsi utama kelenjar cowper adalah untuk
membersihkan dan menetralisir urethra
dari bekas urin dan kotoran-kotoran lainnya sebelum diejakulasikan. Ditambahkan oleh Partodihardjo (1980) yang menyatakan bahwa kelenjar cowper
sebelum kopulasi sering terlihat adanya
tetesan-tetesan cairan dari penis.
2.1.5. Penis
Penis
merupakan organ kopulasi jantan yang
terletak di dalam preputium dan mempunyai bentuk seperti silinder. Fungsi penis
itu sendiri adalah sebagai saluran untuk pengeluaran urin dan menyalurkan semen
ke dalam saluran reproduksi betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson
(1992) yang menyatakan bahwa
organ kopulasi pada hewan jantan adalah penis. Bagian ujung penis tersebut
terdapat gland penis, yang berfungsi
sebagai alat ejakulasi atau penyemprotan sperma. Selain itu juga terdapat
lekukan yang berbentuk sigmoid yaitu flexure
sigmoid. Flexure
sigmoid itu akan menjadi lurus jika terjadi
ereksi. Hal itu sesuai dengan pendapat Yusuf (2012) yang menyatakan bahwa sapi,
babi hutan dan domba memiliki lentur sigmoid, sebuah lekukan berbentuk S pada
penis yang memungkinkan untuk ditarik kembali sepenuhnya ke dalam tubuh. Urethra adalah saluran urogenitalis,
jadi untuk urin dan semen yang disebut urethra
adalah bagian saluran yang tergantung dari tempat bermuaranya ampula vas deferens sampai ke ujung penis. Hal
ini sesuai dengan Girisonta (1981) yang menyatakan bahwa urethra menghubungkan kandung kemih dengan gland penis yang berfungsi untuk mengalirkan air kencing dan semen.
2.2. Perbedaan Anatomi Organ Reproduksi Sapi,
Domba dan Babi Jantan
Bedasarkan
hasil pengamatan diperoleh perbedaan bentuk organ reproduksi jantan antara
sapi, babi dan domba. Pada sapi bentuk gland
penis bulat memanjang, pada domba terdapat processus urethralis yang berfungsi untuk mendeposisikan semen
tepat pada serviks, sedangkan pada babi bentuknya seperti matabor. Hal ini
sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa gland penis sangat bervariasi dari
spesies ke spesies. Perbedaan
juga terlihat pada bentuk penis, pada sapi penisnya berbentuk bulat panjang dan
bertipe fibroelastis, yaitu keadaannya agak kaku dan kenyal meskipun tidak
dalam keadaan ereksi sedangkan pada domba dan babi penisnya kecil dan pendek.
Testis pada sapi dan domba berbentuk lonjong dan berukuran panjang sedangkan
pada babi berbentuk oval agak kecil. Hal ini sesuai dengan pendapat Hafez
(1987) yang menyatakan bahwa domba memiliki testis berbentuk lonjong, berukuran
panjang 0,75 -1,15 cm, diameter 0,35- 0,68 cm dan bobot 250-300 gram. Ditambah
oleh pendapat Toelihere (1981) bahwa letak skrotum berbeda-beda dimana pada
sapi dan domba terletak diantara umbilicus ke belakang, sementara pada babi
terletak tepat dibawah anus. Skrotum merupakan suatu kantong yang terbagi oleh
septum skroti menjadi dua ruangan dan masing-masing terisi oleh testis. Fungsi
utama skrotum adalah untuk memberikan kepada testis suatu lingkungan yang
memiliki suhu 1 sampai 80 C lebih dingin dibandingkan temperatur
rongga tubuh. Letak skrotum pada sapi dan domba terletak di daerah prepubicum, sedangkan pada babi terletak
di daerah anal sedikit sebelah ventral dari anus. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere
(1981) yang menyatakan bahwa skrotum adalah kulit berkantong yang ukuran, bentuk dan lokasinya
menyesuaikan dengan testis yang dikandungnya. Ditambah oleh pendapat Frandson
(1992) bahwa fungsi skrotum yaitu mengatur temperatur testis dan epidermis agar
tidak terlalu rendah dengan suhu.
2.3. Anatomi Organ Reproduksi
Betina
|
3
5
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
|
Sumber: Frandson, 1992
|
|
2
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
|
Sumber: Yusuf, 2012
|
|
3
6
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
|
Sumber: Frandson, 1992
|
Ilustrasi 2. Organ Reproduksi
Betina pada Sapi, Domba dan Babi
Keterangan:
1. Ovarium, 2. Oviduk , 3. Uterus, 4.
Serviks, 5. Vagina, 6. Vulva
Berdasarkan pengamatan pada organ
reproduksi sapi betina, domba betina dan babi betina diperoleh hasil bahwa
organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus, serviks, vagina
dan vulva. Hal ini sesuai dengan pendapat Tomaszewska et al., (1991) bahwa organ-organ reproduksi betina terdiri dari 2
buah ovari, 2 oviduk atau tuba fallopi,
uterus, serviks, vagina dan vulva. Kinerja dari keseluruhan organ reproduksi
betina dimulai dari ovarium yang menghasilkan sel telur dan hormon estrogen
juga progesteron, selanjutnya sel telur akan melewati oviduk yang didalamnya
terjadi fertilisasi dan apabila terjadi pembuahan akan berkembang menjadi
embrio. Hal ini diperkuat oleh pendapat Frandson (1992) bahwa ovum atau telur
dilepaskan dari ovari dan diterima oleh infundibulum lalu dibawa masuk ke tuba
uteri, dimana terjadi proses pembuahan atau fertilisasi dan di dalam uterus,
telur yang sudah dibuahi itu berkembang menjadi embrio. Selanjutnya, individu
baru akan keluar melewati serviks, vagina
dan vulva.
2.3.1. Ovarium
Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan pada praktikum anatomi organ reproduksi ternak dapat diketahui bahwa
dalam sistem reproduksi terdapat organ ovarium yang merupakan organ reproduksi
primer dan memiliki peran yang penting yaitu memproduksi sel telur melalui proses oogenesis, serta menghasilkan
hormon-hormon kelamin seperti esterogen dan progresteron. Ovarium terdapat
sepasang yaitu sebelah kanan dan kiri yang berbentuk oval seperti kacang
almond. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa ovarium adalah
organ primer pada betina yang mampu menghasilkan hormon dan juga ovum dan
merupakan sepasang kelenjar yang terdiri dari ovarium kanan dan kiri. Diperkuat
oleh Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa ovarium mempunyai dwifungsi,
sebagai organ yang menghasilkan sel telur dan yang mensekrasikan hormon-hormon
kelamin betina esterogen dan progesteron.
2.3.2. Oviduk
Berdasarkan hasil pengamatan
praktikum anatomi organ reproduksi dapat diketahui bahwa oviduk merupakan organ
reproduksi sekunder yang berbentuk saluran yang menghubungkan antara ovarium
dengan uterus. Oviduk mempunyai fungsi sebagai tempat bertemunya sel telur
dengan sperma atau tempat terjadinya fertilisasi antara sel telur dan sperma.
Bentuk oviduk antara sapi, domba dan babi berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan
pendapat Frandson (1992) bahwa oviduk merupakan saluran yang berpasangan yang
menghantarkan sel telur menuju ke tanduk uterus dan juga merupakan tempat
fertilisasi sel telur oleh sel spermatozoa. Diperkuat oleh Toelihere (1981)
bahwa oviduk merupakan saluran kelamin paling anterior, kecil, berliku-liku dan
berfungsi sebagai tempat bertemunya sel telur dengan sperma. Menurut Blakely
dan Bade (1991) pembuahan yaitu persatuan antara sel telur dan sperma, terjadi
di sepertiga bagian atas dari oviduk. Peristiwa seperti ini dapat terjadi di
kedua sisi sistem pasangan itu.
2.3.3. Uterus
Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan dapat diketahui bahwa uterus merupakan organ reproduksi yang memiliki
peran penting dalam sistem reproduksi yaitu sebagai tempat berkembangnya dan
mempertahankan sel telur yang telah dibuahi oleh sel sperma hingga menjadi
embrio serta untuk mempermudah pengangkutan sperma ke oviduk. Uterus terdiri
dari dua tanduk (cornua uteri) yang kemudian
bergabung dengan badan uterus (corpus
uteri) yang terletak antara oviduk dengan
serviks. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) bahwa uterus ternak
yang tergolong mamalia terdiri dari corpus
(badan), serviks (leher) dan dua tanduk (cornua),
dalam uterus ruminansia merupakan tempat perlekatan sel telur yang telah
dibuahi. Diperkuat oleh Toelihere (1981) bahwa uterus pada sapi berbentuk bicornis dengan kedua cornua meninggalkan corpus uteri pada suatu sudut lancip dan terletak hampir sejajar satu
sama lain dan berfungsi untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi dan terdiri cornua, corpus dan cervix.
2.3.4. Serviks
Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan maka dapat diketahui bahwa serviks merupakan organ yang masih bagian
dari uterus tetapi memiliki perbedaan mendasar yaitu serviks memiliki dinding
yang tebal dan elastis. Serviks mempunyai fungsi untuk menghindari kontaminasi
mikroba terhadap uterus dengan menghasilkan lendir yang bersifat anti bakteri.
Letak serviks yaitu berada antara uterus dengan vagina. Hal ini sesuai dengan
pendapat Frandson (1992) bahwa serviks merupakan otot polos yang kuat dan
tertutup rapat dan akan memproduksi cairan anti bakteri guna mencegah masuknya
zat-zat yang membawa infeksi dari vagina kedalam uterus. Diperkuat oleh Toelihere
(1981) bahwa serviks merupakan suatu otot yang sangat kuat dan terdapat antara
vagina dan uterus.
2.3.5. Vagina
Berdasarkan hasil
praktikum diperoleh bahwa bagian saluran reproduksi betina yang dilewati
setelah serviks adalah vagina. Vagina merupakan bagian saluran reproduksi
betina yang terletak di pelvis antara uterus dan vulva. Hal ini sesuai dengan
Tomaszewska et al., (1991) yang
menyatakan bahwa vagina dan vestibula terletak dalam pelvis, keduanya terletak
memanjang dari depan mulut serviks luar sampai ke belakang pada vulva. Fungsi
dari vagina itu sendiri adalah sebagai tempat masuknya alat kelamin jantan atau
testis saat kopulasi dan sebagai saluran atau jalan kelahiran. Hal ini sesuai
dengan pendapat Yusuf (2012) yang menyatakan bahwa vagina merupakan organ
kopulasi pada betina.
2.3.6. Vulva
Berdasarkan hasil
pengamatan pada vulva dapat diketahui bahwa vulva merupakan organ reproduksi
dimana letaknya berada pada bagian terluar yang sebelumnya terhubung dengan
vagina. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa
vulva adalah bagian eksternal dari gentitalia betina yang terentang dari vagina
sampai ke bagian yang paling luar. Fungsi dari vulva sebagai saluran paling
luar saat terjadinya kopulasi dan sebagai tanda saat mengalami birahi dimana
pada vulva berwarna merah dan agak membengkak. Hal ini sesuai dengan pendapat
Partodihardjo (1980) yang menyatakan bahwa pada permukaan vulva terdapat banyak
kelenjar subaceous (kelenjar kulit)
dan saat birahi vulva dapat menjadi tegang karena bertambahnya volume darah
yang mengalir ke dalamnya.
2.4. Perbedaan Anatomi Organ Reproduksi Sapi,
Domba dan Babi Betina
Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan pada praktikum anatomi organ reproduksi maka dapat diketahui organ
reproduksi betina sapi, domba dan babi memiliki perbedaan yaitu pada babi
berbentuk seperti anggur sementara pada domba dan sapi berbentuk seperti kacang
almond atau oval. Perbedaan selanjutnya pada uterus babi lebih panjang dan
berkelok-kelok, sedangkan pada sapi dan domba lebih pendek dan tidak
berkelok-kelok dikarenakan kemampuan babi untuk mengandung banyak anak. Hal ini
sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa uterus sapi lebih
besar dibandingkan dengan keadaan sebenarnya, uterus pada babi mempunyai
struktur yang berkelok-kelok sehingga memungkinkan babi untuk beranak banyak.
Selain itu servik pada babi lebih tebal dari pada sapi dan domba. Ditambahkan
oleh Toelihere (1981) bahwa pada sapi, ovarium berbentuk oval dan bervariasi
dalam ukuran panjang, lebar dan tebalnya.
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan
Berdasarkan
hasil dan pembahasan praktikum dapat disimpulkan bahwa organ reproduksi pada
ternak jantan terdiri dari testis, epididimis, vas deferens, ampula, kelenjar
aksesoris dan penis. Perbedaan organ
reproduksi pada sapi, domba dan babi terletak pada bentuk dan ukuran testis dan
penisnya. Organ reproduksi betina terdiri dari ovarium, oviduk, uterus,
serviks, vagina, dan vulva. Perbedaan antara organ reproduksi pada sapi, babi
dan domba terletak pada bentuk ovarium, serviks, uterus dan vagina.
3.2. Saran
Adapun saran dalam
praktikum ilmu reproduksi ternak dengan materi organ reproduksi sebaiknya organ
reproduksi yang digunakan dalam keadaan lengkap sehingga dalam proses
pengamatan tidak membingungkan.
Blakely. J. dan Bade, D. 1991.
Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Djanuar. 1985. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi.
Gadjah Mada
University, Yogyakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Girisonta. 1981. Pedoman Lengkap Berternak Babi.
Kanisius, Yogyakarta
.
Hafez, E.S.E. 1987. Reproduction In Farm Animals.
Lea and Febiger, Philadelphia.
Partodihardjo,
S. 1980. Ilmu
Reproduksi Hewan. Mutiara.
Jakarta.
Tomaszewska,
M.W., I Ketut Sutama, I Gede Putu, T. D. Chaniago. 1991. Reproduksi Tingkah
Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi
Reproduksi Pada Ternak. Angkasa, Bandung.
Yusuf, M. 2012. Buku Ajar Ilmu
Reproduksi Ternak. Lembaga Kajian Dan Pengembangan Pendidikan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
MATERI DAN METODE
Praktikum
Ilmu Reproduksi Ternak dengan materi Sel Gamet dilaksanakan pada hari Minggu,
tanggal 27 Oktober 2013 pukul 11.00-13.00 WIB di Laboratorium Genetika,
Pemuliaan dan Reproduksi Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang.
1.1. Materi
Alat-alat
yang digunakan dalam praktikum Sel Gamet Jantan dan Betina yaitu container yang berfungsi sebagai
tempat penyimpanan semen beku, pinset yang berfungsi untuk mengambil semen beku
dari container, gelas yang berfungsi
sebagai tempat air dengan suhu 360 C,
gunting yang berfungsi untuk memotong straw,
tabung reaksi yang berfungsi untuk menampung semen yang akan diamati, pipet
yang berfungsi untuk mengambil semen dalam
volume tertentu, mikroskop yang berfungsi untuk mengamati sel sperma dan ovum,
cawan petri yang berfungsi sebagai wadah atau tempat meletakkan ovum, disposible syringe dan spuit yang berfungsi untuk mengambil
cairan dalam ovum, LCD proyektor dan media
movie yang berfungsi untuk menampilkan sel sperma dan ovum sebagai
pembanding, foto ovum yang berfungsi sebagai media pembanding pengamatan ovum,
alat tulis dan buku praktikum yang berfungsi untuk mencatat hasil pengamatan. Sedangkan,
bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu NaCl fisiologis, semen beku
dan ovarium.
1.1. Metode
Metode
yang dilakukan dalam praktikum sel gamet dibagi menjadi dua yaitu sel gamet
jantan dan sel gamet betina. Pada praktikum sel gamet jantan metode yang
dilakukan adalah mengambil semen beku yang berada didalam container menggunakan pinset, memasukkan semen yang sudah diambil
kedalam gelas yang sudah berisi air bersuhu 360 C selama 30 detik,
memotong straw dan menampung semen
yang sudah dicairkan dalam tabung reaksi, mengambil semen menggunakan pipet
tetes, meneteskan pada kaca preparat, menutupnya dengan kaca penutup, mengamati
semen tersebut dengan menggunakan mikroskop, mengamati dan menggambar
bagian-bagian sel sperma beserta fungsinya pada buku praktikum. Pada praktikum
sel gamet betina, metode yang dilakukan adalah mengambil spuit dan mengisinya dengan NaCL fisiologis sebanyak 1 ml,
mengambil ovarium yang telah disediakan, menusukkan spuit pada folikel yang matang (folikel
de graff), menghisap cairan pada folikel–folikel tersebut menggunakan spuit untuk mengambil ovum, meletakkan
cairan yang didapat pada kaca preparat, mengamati ovum menggunakan mikroskop
dan mengambar ovum sesuai pengamatan beserta fungsinya pada buku praktikum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Spermatogenesis
Berdasarkan hasil praktikum mengenai
sel gamet jantan, diperoleh data sebagai berikut:
1
3
5
|
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum
Ilmu
Reproduksi Ternak,
2013.
|
|
Sumber: Yusuf,
2012.
|
Ilustrasi
3. Spermatogenesis
Keterangan: 1. Spermatogonium, 2.
Spermatosit primer, 3. Spermatosit sekunder,
4.
Spermatid, 5. Spermatozoa.
Berdasarkan hasil praktikum,
diperoleh bahwa didalam testis terjadi suatu proses pembentukkan sel sperma
yang dinamakan dengan spermatogenesis. Proses spermatogenesis terjadi beberapa
tahap, tahap pertama adalah spermatogonium yang berkembang menjadi spermatosit
primer melalui proses mitosis. Hal ini sesuai dengan pendapat Ville et al., (1999) yang menyatakan bahwa
spermatogenesis dimulai dengan pertumbuhan spermatogonium menjadi sel yang
lebih besar yang disebut spermatosit primer melalui pembelahan secara mitosis.
Kemudian, spermatosit primer akan membelah menjadi spermatosit sekunder secara
mitosis yang kemudian mengalami pembelahan lagi secara meiosis menghasilkan
spermatid dan berkembang menjadi spermatozoa. Hal ini sesuai dengan pendapat
Manuaba et al., (2007) yang
menyatakan bahwa spermatosit pertama memecah diri menjadi spermatosit kedua dan
akan tumbuh berkembang menjadi spermatid. Dapat disimpulkan bahwa didalam
proses pembentukkan sperma atau spermatogenesis menghasilkan empat sel sperma.
2.2. Sel Gamet Jantan
Berdasarkan
hasil praktikum mengenai sel gamet jantan, diperoleh data sebagai berikut:
|
7
8
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi
Ternak, 2013
|
|
Sumber : Rohen dan Elke, 2008
|
Ilustrasi 4. Sel
Gamet Jantan
Keterangan : 1. Akrosom,
2. Nukleus, 3. Sitoplasma, 4. Sentriol,
5. Mitokondria,
6. Cincin terminaldis, 7. Membran
pelindung, 8. Ekor
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa sel sperma tersusun atas kepala, badan dan ekor.
Pada bagian kepala sperma terdiri atas akrosom, nukleus, sitoplasma dan
sentriol sedangkan pada bagian badan dan ekor sperma terdiri dari mitokondria,
cincin terminaldis dan ekor. Hal ini sesuai dengan pendapat
Huliana (2001) bahwa sperma terdiri dari bagian kepala, leher dan ekor. Kepala sperma berbentuk lonjong (agak gepeng) dan mengandung inti berisi kromosom, leher sperma menghubungkan bagian kepala dan ekor, sedangkan ekor dapat bergetar sehingga sperma dapat bergerak cepat serta panjang sperma sekitar 50 mikron. Pengamatan sel gamet jantan dilakukan dengan cara mengambil semen beku dari container nitrogen dengan pinset kemudian melakukan thawing yaitu merendam dalam air setelah itu memotong pada tengah-tengah dan menuangkan pada tabung reaksi. Setelah menuangkan dalam gelas ukur, mengambil semen yang sudah di thawing menggunakan pipet dan meneteskan 1 tetes semen pada object glass kemudian menutup dengan kaca penutup dan mengamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran obyektif 40x. Hal ini sesuai dengan pendapat Wasito dan Sarwanto (2008) bahwa pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dapat dilakukan dengan meneteskan 1 tetes semen pada object glass dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilihat dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa obyektif 40x.
Huliana (2001) bahwa sperma terdiri dari bagian kepala, leher dan ekor. Kepala sperma berbentuk lonjong (agak gepeng) dan mengandung inti berisi kromosom, leher sperma menghubungkan bagian kepala dan ekor, sedangkan ekor dapat bergetar sehingga sperma dapat bergerak cepat serta panjang sperma sekitar 50 mikron. Pengamatan sel gamet jantan dilakukan dengan cara mengambil semen beku dari container nitrogen dengan pinset kemudian melakukan thawing yaitu merendam dalam air setelah itu memotong pada tengah-tengah dan menuangkan pada tabung reaksi. Setelah menuangkan dalam gelas ukur, mengambil semen yang sudah di thawing menggunakan pipet dan meneteskan 1 tetes semen pada object glass kemudian menutup dengan kaca penutup dan mengamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran obyektif 40x. Hal ini sesuai dengan pendapat Wasito dan Sarwanto (2008) bahwa pemeriksaan mikroskopis spermatozoa dapat dilakukan dengan meneteskan 1 tetes semen pada object glass dan ditutup dengan kaca penutup kemudian dilihat dengan mikroskop cahaya dengan pembesaran lensa obyektif 40x.
2.2.1. Membran
Plasma
Berdasarkan hasil
praktikum diperoleh bahwa membran plasma berfungsi untuk melindungi sperma agar dapat masuk
menembus ke sel telur, selain itu membran plasma merupakan lapisan yang paling luar dari sel sperma. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury
dan VanDemark (1984) yang menyatakan bahwa
membran membentuk lapisan luar badan spermatozoa yang berasal dari sitoplasma. Fungsi
dari membran plasma adalah untuk membungkus sel dan sebagai filter yang sangat
selektif. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumardjo (2009) yang menyatakan bahwa
membran plasma bukan hanya sekedar pembungkus sel atau pembatas antar sel dan
lingkungannya, tetapi ikut berperan dalam pengaturan isi sel. Menurut Asmarinah (2010) reaksi akrosom adalah suatu proses
eksositosis yang ditandai dengan terjadinya fusi antara membran plasma, sperma
dan membran luar akrosom di bagian anterior kepala sperma, sehingga
memungkinkan enzim-enzim hidrolitik yang dikandung kantung akrosom tersebut
keluar melalui pori-pori yang terbentuk dan selanjutnya enzim-enzim tersebut
akan meliliskan lapisan luar sel telur.
2.2.2. Akrosom
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa akrosom berfungsi untuk menembus sel telur pada
ovarium yang dibantu oleh enzim hyaluronidase
dan enzim akrosin yang berfungsi untuk melarutkan protein agar mudah
menembus zona pellucida pada sel
ovarium. Hal ini sesuai dengan pendapat Toelihere (1981) bahwa enzim hyaluronidase atau zona lysin yang berada di akrosom bersama perforatorium digunakan
untuk penerobosan dinding ovum. Ditambahkan oleh Campbell et al,. (2004) bahwa akrosom mengandung enzim yang membantu sperma
menembus sel telur.
2.2.3. Sitoplasma
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa setelah akrosom terdapat sitoplasma yang
merupakan bagian sel yang terbungkus oleh membran sel yang mengandung berbagai
macam organel-organel. Hal ini sesuai dengan pendapat Isnaeni (2006) bahwa di
dalam sitoplasma terdapat organela sel seperti retikulum endoplasma, aparatus
golgi, lisosom, mitokondria, membran inti dan sentriol. Ditambahkan oleh Sugito
dan Mujasam (2009) bahwa sitoplasma adalah fase cair dalam
sel yang mengandung berbagai macam konstituen berupa organel sel, antara lain
mitokondria, ribosom dan lain-lain. Fungsi dari sitoplasma itu sendiri adalah
untuk transpor nutrisi dan berperan dalam metabolisme sel.
2.2.4. Nukleus
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa nukleus
berfungsi sebagai pembawa materi genetik berupa DNA dan mengatur aktivitas
sperma. Letak nukleus berada pada kepala sperma bagian tengah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Frandson (1992) bahwa fungsi utama nukleus adalah pembawa
pesan-pesan gen dan pusat pengatur segala aktivitas gen. Ditambahkan oleh
Sloane (1994) bahwa nukleus mengandung materi genetik sel atau DNA yang
mengkode informasi untuk mengontrol sintesis protein dan reproduksi sel serta untuk
mengatur aktivitas selular.
2.2.5. Sentriol
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa sentriol terletak di leher sperma diantara
mitokondria dengan sitoplasma atau nukleus. Sentriol memiliki fungsi untuk
memutuskan antara ekor dengan kepala. Hal ini sesuai dengan pendapat Salisbury
dan VanDemark (1984) yang menyatakan bahwa golgi
terletak di bagian belakang nukleus yang menjadi bagian dari lehernya dan
membentuk 2 benda yang terwarnai dengan zat warna perak yang disebut granula agretrophil atau sentriol.
Ditambahkan oleh Frandson (1992) bahwa cincin terminal yang menghubungkan
antara kepala dan badan spermatozoa nantinya akan berfungsi sebagai pemutus
antara kepala dan badan sehingga kepala spermatozoa menembus membran vitelin.
2.2.6. Mitokondria
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa mitokondria terletak pada badan sel yang
memiliki bentuk seperti ikatan-ikatan. Fungsi dari mitokondria adalah sebagai
penghasil energi yang digunakan untuk pergerakan sperma. Hal ini sesuai dengan
pendapat Manuaba et al., (2007) yang
menyatakan bahwa mitokondria mengandung RNA dan DNA sehingga dapat bereplikasi
dengan bebas dan energi yang terdapat dalam mitokondria dipergunakan untuk
gerakan spermatozoa melalui ekornya. Pada bagian tengah digambarkan sebagai
pusat tenaga sperma karena mitokondria berada terpusat dalam daerah ini. Hal
ini sesuai dengan Rohen dan Elke (2008) yang menyatakan bahwa di bagian tengah
terdapat mitokondria, berakhir dalam suatu lilitan yang padat dan membentuk
seperti skrup.
2.2.7. Ekor
Sperma
Berdasarkan hasil
praktikum diperoleh bahwa pada ekor
sperma terdapat bagian menyerupai flagellum yang didalamnya terdapat fibril-fibril yang dapat
berputar dan menggerakan sperma untuk mencapai ke sel telur pada organ
reproduksi betina. Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang
menyatakan bahwa ekor sperma menyerupai flagellum
yang di dalamnya terdapat dua fibril sentral yang dikelilingi oleh sebuah
cincin yang terdiri dari 9 pasangan fitrif perifer dan fibril-fibril ini
bersifat kontraktil dan menimbulkan gerakan ekor sperma. Ditambahkan oleh Partodiharjo
(1990) bahwa ukuran ekor sperma yaitu garis tengah 0.25-0.5 mikron. Bagian
ujung mungkin bergaris tengah kurang dari 0.25 mikron, panjang 44-50 mikron.
2.3. Perbedaan Morfologi Sperma pada Sapi,
Unggas dan Mencit
Berdasarkan hasil
praktikum mengenai sel gamet jantan diperoleh data sebagai berikut:
|
|
Sumber: Data Primer Praktikum
Ilmu
Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Ville et al., 1999
|
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Ville et al., 1999
|
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Ville et al., 1999
|
Ilustrasi 5. Perbedaan Morfologi Sperma
pada Sapi, Unggas dan Mencit
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa perbedaan sel gamet jantan setiap spesies
memiliki beberapa perbedaan. Pada umumnya perbedaan sel gamet jantan antara sapi,
unggas dan mencit sangat terlihat pada bentuk kepala sperma. Hal ini sesuai
dengan pendapat Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa ukuran dan bentuk
spermatozoa berbeda pada berbagai jenis hewan, namun memiliki struktur dan
morfologi yang sama. Bentuk kepala pada sperma sapi berbentuk seperti bola,
bulat. Berbeda pada jenis hewan yang lain, spermatozoa sapi sangat berbeda
bentuk dan ukuran dengan spermatozoa ayam, manusia dan tikus. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hardijanto et al., (2007)
yang menyatakan bahwa sel spermatozoa sapi memiliki bentuk yang sama dengan sel
spermatozoa domba, kambing, kuda, kerbau, anjing dan babi yaitu bulat telur dan
pipih.
Berdasarkan
hasil praktikum, ditemukan bahwa bentuk kepala sperma pada unggas berbentuk
lonjong memanjang dan runcing pada bagian akrosom. Hal ini sesuai dengan
pendapat Gilbert (1980) yang menyatakan bahwa sperma unggas memiliki bentuk
kepala yang silindris memanjang dengan akrosom yang meruncing dan sedikit
melengkung dengan ukuran panjang 12 – 13 μm dan diselimuti akrosom (2 μm).
Berbeda dengan bentuk kepala sperma pada mencit, mencit memiliki bentuk kepala
sperma seperti sabit. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugraheni et al., (2003) yang menyatakan bahwa
kepala spermatozoa mencit berbentuk kait dan mempunyai panjang +0,008 mm,
adapun panjang keseluruhannya adalah +0,1226 mm. Spermatozoa normal memiliki
kepala, leher, badan dan ekor. Walaupun berbeda spesies, spermatozoa pada hewan
ternak dan vertebrata lainnya memiliki struktur yang sama, yaitu memiliki
akrosom, nukleus dan terpasang flagella dengan mitokondria, annulus, dense
fibers, dan selubung yang berserat.
2.4. Oogenesis
Berdasarkan
hasil praktikum mengenai sel gamet betina, diperoleh data sebagai berikut:
|
1
3
5
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum
Ilmu
Reproduksi Ternak,
2013.
|
|
Sumber: Ville et al., 1999.
|
Ilustrasi 6. Oogenesis
Keterangan: 1.
Oogonium, 2. Oosit primer, 3. Oosit
sekunder, 4. Ovum,
5. Badan kutub.
Berdasarkan
hasil praktikum, diperoleh bahwa didalam ovarium terdapat suatu proses
pembentukkan sel telur yang dinamakan dengan oogenesis. Oogenesis merupakan
proses pembentukkan sel telur atau ovum di dalam ovarium. Hal ini sesuai dengan
pendapat Tomaszewska et al.,
(1991) yang menyatakan bahwa oogenesis adalah proses
pembentukkan, pertumbuhan dan pematangan sel kelamin betina. Pertama, oogonium membelah
secara mitosis menghasilkan oosit primer yang akan mengalami pembelahan meiosis
I pada masa pubertas dan hasil pembelahannya berupa dua sel haploid berupa satu
sel besar disebut oosit sekunder dan satu sel berukuran lebih kecil disebut
badan kutub pertama. Hal ini sesuai dengan pendapat Ville et al., (1999) yang menyatakan bahwa beberapa atau semua oogonium
berkembang menjadi oosit primer dan mulai pembelahan meiosis I yang
menghasilkan satu sel yang besar yaitu oosit sekunder dan satu sel kecil yaitu
badan kutub petama. Pada tahap selanjutnya, oosit sekunder dan badan kutub
pertama akan mengalami pembelahan meiosis II. Pada saat itu, oosit sekunder
akan membelah menjadi dua sel yaitu sel yang berukuran normal yang disebut
ootid dan satu sel yang lebih kecil yaitu badan kutub sekunder. Dapat
disimpulkan bahwa dalam proses oogenesis hanya dihasilkan 1 sel telur saja,
karena ketiga badan kutub lainnya mengalami kehancuran.
Hal ini sesuai dengan pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa masaknya
sel kelamin primer betina hanya menghasilkan satu ovum atau ootid masak dan
tiga sel-sel rudimenter yang disebut badan-badan polar atau polosit.
2.5. Sel Gamet Betina
Berdasarkan
hasil praktikum mengenai sel gamet betina, diperoleh data sebagai berikut:
|
|
|
Sumber : Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi
Ternak, 2013
|
|
Sumber: Ville et al., 1999.
|
Ilustrasi 7. Sel Gamet Betina
Keterangan : 1. Cumulus Oophorus,
2. Membran
Vitelin,
3. Zona Pellucida
4.
Corona Radiata, 5. Sitoplasma,
6. Nukleus
Berdasarkan
hasil praktikum, dapat diketahui bahwa ovum tersusun atas cumulus oophorus, membran vitelin, zona pellucida, sitoplasma dan nukleus. Hal ini sesuai dengan
pendapat Hunter (1995) yang menyatakan bahwa yang mengelilingi dan mendukung
oosit adalah cumulus oophorus, corona radiata dan zona pellucida. Sel telur dapat terlihat melalui perbesaran 400x
melalui mikroskop. Sel telur dihasilkan dari organ reproduksi betina pada
bagian ovarium pada bagian folikel-folikel yang ada di dalamnya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Tomaszewska et al.,
(1991) yang menyatakan bahwa folikel adalah wadah dari
sel telur (ova). Tiap bagian organ reproduksi memiliki letak dan bentuk yang
berbeda sehingga fungsinya akan berbeda-beda .
2.5.1. Cumulus
Oophorus
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa cumulus
oophorus merupakan lapisan yang paling luar dan memiliki fungsi sebagai penghasil nutrisi
untuk ovum dan melindungi keseluruhan ovum. Hal ini
sesuai dengan pendapat Guyton (1994) yang menyatakan bahwa cumulus oophorus merupakan transport nutrisi, hormon dan faktor
pertumbuhan antara sel membran granulosa dengan oosit. Ditambahkan oleh Frandson
(1992) bahwa beberapa sel membran granulose membentuk suatu gundukan di sekitar
ovum. Gundukan itu disebut cumulus
oophorus.
2.5.2. Corona
Radiata
Berdasarkan
hasil praktikum sel gamet betina diperoleh bahwa lapisan kedua dari sel gamet
betina atau sel telur setelah cumulus
oophorus
adalah lapisan yang disebut corona
radiata. Pengertian lain dari corona
radiata adalah lapisan melingkar yang tersusun
atas sel-sel granulosa yang melekat di sisi luar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Frandson (1992) yang menyatakan bahwa lapisan
yang paling dalam yang disebut corona
radiata terdiri atas sel-sel folikel silindris yang tersusun secara radial
pada seluruh permukaan zona pellucida.
Menurut Rohen dan Elke (2008) kumpulan sel folikel yang berdekatan dan
berbentuk seperti lingkaran sinar dinamakan corona
radiata. Fungsi dari corona radiata
adalah sebagai pelindung sel telur di bagian luar.
2.5.3. Zona
Pellucida
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa zona
pellucida merupakan salah satu lapisan pelindung pada bagian tengah yang
tebal dan terletak antara membran vitelin dengan corona radiata yang mempunyai fungsi untuk melindungi sel telur dan
akan menghancurkan sperma lain yang masuk. Hal ini sesuai dengan pendapat
Manuaba et al., (2007) yang
menyatakan bahwa zona pellucida mempunyai
kemampuan untuk melakukan reaksi zona sehingga dindingnya menutup untuk
spermatozoa lainnya. Ditambahkan oleh Hardjopranjoto (1989) bahwa zona pellucida merupakan lapisan tebal dan berbasis protein
meliputi bagian luar membran vitelin yang membantu melindungi sel telur.
2.5.4. Membran Vitelin
Berdasarkan
hasil praktikum diperoleh bahwa membran vitelin merupakan bagian dari lapisan
pelindung primer pada sel telur yang paling dalam yang terletak antara
sitoplasma dengan zona pellucida.
Fungsi dari membran vitelin yaitu untuk memblokade sel sperma. Hal ini sesuai
dengan pendapat Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa membran vitelin merupakan
membran yang berfungsi menyeleksi sperma yaitu memisahkan kepala dengan ekor.
Ditambahkan oleh Sari (2008) bahwa ovum dilapisi tiga macam selaput pelindung
yaitu selaput primer, selaput sekunder dan selaput tersier. Selaput primer
dihasilkan oleh ovum itu sendiri dan biasa disebut membran vitelin. Selaput
sekunder pada mamalia disebut zona
pellucida.
2.5.5. Sitoplasma
Berdasarkan hasil praktikum
diperoleh bahwa sitoplasma merupakan suatu cairan yang berfungsi untuk
memberikan nutrisi bagi ovum. Pada bagian dalam sitoplasma terdapat berbagai
macam organel-organel seperti mitokondria, retikulum endoplasma. Hal itu sesuai
dengan pendapat Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa sitoplasma berfungsi
untuk mentranspor nutrisi dan metabolisme sel. Ditambahkan oleh Sugito dan Mujasam (2009) bahwa sitoplasma
adalah fase cair dalam sel yang mengandung berbagai macam konstituen berupa
organel sel, antara lain mitokondria, ribosom, dan lain-lain.
2.5.6. Nukleus
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh
bahwa nukleus atau inti sel mempunyai bentuk bulat yang biasanya terletak di
tengah-tengah sel. Nukleus berfungsi sebagai pembawa materi genetik yang
tersimpan di dalam suatu molekul polinukleutida yaitu DNA. Selain itu juga
berfungsi untuk mengatur dan mengontrol segala aktivitas sel. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Ville et al.,
(1999) yang menyatakan bahwa nukleus merupakan bagian yang sangat penting dari
sel dan berguna untuk mengatur dan mengendalikan aktivitas seluler serta
dibutuhkan di dalam pertumbuhan dan pembelahan. Ditambahkan oleh Sloane (1994) bahwa nukleus
mengandung materi genetik sel yaitu DNA yang mengkode informasi untuk
mengontrol sintesis protein dan reproduksi sel serta untuk mengatur aktivitas
selular.
2.6. Tipe-Tipe Ovum
Berdasarkan hasil praktikum
mengenai sel gamet betina diperoleh data sebagai berikut:
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum
Ilmu
Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Gupta et al., 2010
|
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Gupta et al., 2010
|
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Gupta et al., 2010
|
|
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013
|
Sumber: Gupta et al., 2010
|
Ilustrasi 8. Tipe-tipe
Ovum
Berdasarkan hasil praktikum diperoleh bahwa terdapat empat
macam tipe ovum yaitu tipe A, B, C dan D. Keseluruhan tipe-tipe ovum, zona pellucida nya dikelilingi oleh cumulus oophorus yang letaknya saling
berdekatan dan saling merapat serta jumlahnya yang bervariasi. Hal ini sesuai
pendapat Toelihere (1981) yang menyatakan bahwa sel telur atau ovum terletak
pada satu sisi ovarium terbungkus dalam cumulus
oophorus. Cumulus oophorus
dibentuk oleh ovum dan sel-sel granulosa sekitarnya. Masing-masing tipe ovum
dibedakan menurut kuantitas dan tingkatan pada lapisan terluar atau pada cumulus oophorus. Ovum tipe A memiliki
lebih dari 6 lapisan. Ovum tipe B memiliki 4-6 lapisan dengan kualitas kurang
baik, sedangkan ovum tipe C memiliki 2-4 lapisan dengan kualitas yang jelek.
Ovum tipe D memiliki kurang dari 2 lapisan dengan kualitas yang paling buruk. Ditambahkan
oleh Frandson (1992) bahwa ovum dibagi menjadi 4 tipe yang didasarkan atas
jumlah cumulus oophorus pada ovum itu
sendiri.
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan
Sel
sperma diproduksi di testis sedangkan sel telur di ovarium. Sel gamet jantan
terdiri dari akrosom, nukleus, sitoplasma, sentriol, mitokondria, cincin
terminaldis, membran pelindung dan ekor, sedangkan pada sel gamet betina
terdiri dari cumulus oophorus,
membran vitelin, zona pellucida, corona radiata, sitoplasma, dan nukleus.
Setiap hewan mempunyai bentuk sperma yang berbeda-beda, seperti sapi mempunyai
bentuk kepala sperma berbentuk bola bulat, kepala sperma unggas berbentuk
lonjong memanjang, runcing dibagian akrosom dan bentuk kepala sperma mencit
seperti sabit.
3.2. Saran
Adapun
saran dalam praktikum ilmu reproduksi ternak adalah jumlah mikroskop yang
digunakan dalam praktikum selanjutnya harap diperbanyak agar praktikum lebih
cepat dan efektif. Pengamatan sel ovum dan sperma seharusnya dilakukan per
kelompok agar praktikan lebih memahami dan lebih mudah dalam mengerjakan
laporan.
Asmarinah. 2010. Peran
Molekul Kanal Ion pada Fungsi Sperma. Departemen Biologi Kedokteran,
Universitas Indonesia. Jakarta.
Campbell, N.A. Jane B. Reace. Lawrence G. Mitchell.
2004. Biologi. Erlangga, Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak
Edisi 4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Gilbert,
A. B. 1980. Poultry. In :
E.S.E. Hafez (Editor). 1980. Reproduction In Farm Animals. 4th Ed. Lea and
Febiger, Philadelphia. hlm. 423-445.
Gupta,
N., G, Singh, S.M. Singh dan K.R.C. Reddy. 2010. Histological changes
In
ovaries of mice exposed to butea monosperma: preliminary study. 28
(4)
: 1309-1314.
Guyton, C.A.
1994. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 7 Bagian 3. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Hardijanto, R. Eny.,
Narumi H.E. 2007. Pemanfaatan Teknologi Informasi (TI)
untuk Pengukuran Luas Permukaan Kepala Sel Spermatozoa Domba. UNAIR,
Surabaya.
Hardjopranjoto, S. 1989.
Ilmu Kemanjiran pada Ternak.
Airlangga University
Press, Malang.
Huliana, M. 2001. Panduan
Menjalani Kehamilan Sehat. Puspa Swara, Jakarta
Hunter, R.H.F. 1995. Fisiologi dan Teknologi
Reproduksi Hewan Betina Domestik. Penerbit ITB, Bandung.
Isnaeni, W. 2006. Fisiologi Hewan, Kanisius,
Yogyakarta.
Manuaba, C.
Manuaba, F. Manuaba. 2007. Pengantar Kuliah Obstetri. Penerbit
Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Nugraheni, T., O. Parama Astirin., T. Widiyani.
2003. Pengaruh vitamin c terhadap perbaikan spermatogenesis dan kualitas
spermatozoa mencit (Mus musculus l.) setelah pemberian
ekstrak tembakau (Nicotiana tabacum L.), 1
(1):
13-19.
Partodihardjo,
S. 1990. Ilmu
Reproduksi Hewan. Mutiara. Sumber
Widya, Surabaya
Rohen, J.W. dan L.D. Elke. 2008. Embriologi
Fungsional Perkembangan Sistem Fungsi Organ Manusia Edisi 2. Buku Kedokteran
EGC, Jakarta.
Salisbury, G.W dan N.L. VanDemark. 1984. Fisiologi Reproduksi dan
Inseminasi Buatan pada Sapi. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Sari, R. P. 2008. Tingkat Maturasi Oosit In Vitro
pada Kambing Umur Pra Pubertas dan Pubertas. Umiversitas Brawijaya. Malang.
Sloane, E. 1994. Anatomi dan Fisiologi untu Pemula.
Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Sugito, H dan Mujasam. 2009. Konduktivitas Listrik
Pulp Kakao dengan Fermentasi dan Pengenceran,. 12 (3):93–98.
Sumardjo
D. 2009. Pengantar Kimia. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi Reproduksi pada
Ternak. Angkasa, Bandung.
Tomaszewska, M.W., I Ketut Sutama, I Gede Putu, Thamrin
D.C. 1991. Reproduksi Tingkah Laku dan Produksi Ternak di Indonesia. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wasito, B. dan Sarwanto. 2008. Spermiogram pria
infertil di laboratorium infertil - andrologi puslitbang sistem dan kebijakan
kesehatan surabaya. Bul. Penelitian. Kesehatan. 36
(3):106-114.
Ville, C. A., F.
W. Waren dan Robert D. B. 1999. Zoologi Umum. Erlangga,
Jakarta.
Yusuf, M. 2012. Buku Ajar Ilmu
Reproduksi Ternak. Lembaga Kajian Dan Pengembangan Pendidikan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
BAB I
Praktikum
Ilmu Reproduksi Ternak dengan materi Pemilihan Pejantan dan Betina Unggul
dilaksanakan pada hari Sabtu, tanggal 31 November 2013 pukul 11.00-14.00 WIB di
Kandang sapi potong dan perah Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas
Diponegoro, Semarang.
1.1. Materi
Materi
yang digunakan dalam praktikum Pemilihan Pejantan dan Betina Unggul menggunakan
alat yaitu meteran yang berfungsi untuk mengukur ukuran skrotum, alat tulis
untuk mencatat hasil pengamatan. Sementara bahan yang digunakan yaitu sapi
potong jantan dan betina, sapi perah jantan dan betina .
1.2. Metode
Metode
yang digunakan dalam praktikum Pemilihan Pejantan dan Betina Unggul yaitu untuk
pejantan mengukur lingkar skrotumnya dan mengamati bentuk skrotum, mengamati
kondisi alat reproduksi penis, mengamati dan menilai Body Condition Score (BCS) dengan memeriksa perlemakannya dengan
melihat kondisi tubuh. Pada betina mengamati alat reproduksi vulva, bentuk dan
jumlah ambing, mengamati dan menilai BCS dengan memeriksa perlemakan dan
melihat kondisi tubuh. Serta menentukan umur sapi melihat kondisi poel pada
giginya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1. Judging
Pejantan
Berdasarkan pengamatan performa
ternak sapi jantan, diperoleh hasil penilaian sebagai berikut:
Tabel 1. Judging Ternak Jantan
Kriteria
|
Sapi
Potong
|
Sapi
Perah
|
||
1
|
2
|
1
|
2
|
|
Postur
kaki
|
Normal,kokoh,
sejajar
|
Normal,
lurus, kokoh
|
Normal,
sejajar, kokoh
|
Normal,
kokoh, sejajar
|
Skrotum
|
41
cm, simetris
|
44
cm, simetris
|
37
cm, simetris
|
35
cm, simetris
|
Kondisi
alat reproduksi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
BCS
|
3
|
2
|
3
|
2
|
Umur
|
2
|
3
|
2
|
1
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013.
2.1.1. Postur Kaki
Berdasarkan pengamatan pada bentuk
kaki pada sapi pejantan potong dan perah memiliki bentuk keseluruhan yang
normal dengan ditunjukan bentuk kaki yang lurus tidak membentuk huruf x,
terlihat kokoh dan sejajar hal ini menunjukkan jika sapi pejantan tersebut
merupakan bibit yang bagus. Hal ini sesuai pendapat Guntoro (2002) yang
menyatakan bahwa kaki calon pejantan yang bagus memiliki kaki besar tegak dan
kokoh. Ditambah pula oleh pendapat Fikar dan Dadi (2010) yang menyatakan bahwa
kaki pejantan kokoh (tidak kecil tidak kurus) pijakan kuat.
2.1.2. Skrotum
Skrotum pada sapi potong 1 memiliki ukuran lingkar 41
cm, sapi potong 2 berukuran 44 cm, sapi perah 1 berukuran 37 cm dan sapi perah
2 berukuran 35 cm. Semuanya memiliki bentuk yang simetris. Bila kondisi
simetris maka produksi sperma menunjukkan hasil yang bagus. Hal ini sesuai
pendapat Guntoro (2002) yang menyatakan bahwa sapi pejantan harus memperhatikan
lingkar skrotum karena besarnya lingkar skrotum mempunyai korelasi positif
dengan tingkat produksi sperma. Ditambahkan pula oleh pendapat Wiyono et al., (2007) yang menyatakan bahwa untuk
pejantan, testes sapi umur di atas 18 bulan harus simetris (bentuk dan ukuran yang sama antara skrotum
kanan dan kiri).
2.1.3. Kondisi
Alat Reproduksi
Kondisi sapi
yang sehat tidak menunjukkan kelainan pada organ reproduksi luar sehingga bebas
dari penyakit menular terutama yang dapat disebarkan melalui aktifitas
reproduksi. Hal ini sesuai pendapat Fikar dan Dadi (2010) yang menyatakan bahwa
kondisi fisik kelamin jantan seperti testis, preputium dan penis dalam keadaan
normal dan berfungsi baik. Pada testis memiliki bentuk oval dan juga simetris
diantara keduanya serta bentuk pada sapi berbeda-beda sesuai dengan bangsanya
dan lingkungannya. Hal ini sesuai pendapat Frandson (1992) yang menyatakan
bahwa panjang testis sapi dewasa adalah 12-15 cm, diameter tengahnya 6-8 cm
berukuran berat 300-500 gr tergantung pada umur, berat badan, dan bangsa sapi.
2.1.4. BCS
Berdasarkan
hasil pengamatan BCS pada masing-masing sapi dapat diketahui kodisi BCS pada
pejantan potong 1 bernilai 3 dan pada pejantan sapi 2 bernilai 2. Sementara
pada pejantan perah 1 bernilai 3 dan pejantan perah 2 bernilai 2. BCS dengan
nilai 3 menunjukkan kondisi sapi sedang ditandai dengan adanya kondisi tubuh
tidak besar dan tidak kecil serta tulang tidak begitu tampak. Hal ini sesuai
pendapat Awalludin dan Tanda (2010) yang menyatakan bahwa pada kondisi
skor 3 ternak menunjukkan keragaan tubuh yang sedang atau menengah dimana
tonjolan tulang sudah tidak terlihat lagi dan kerangka tubuh, pertulangan dan
perlemakan mulai terlihat seimbang namun masih terlihat jelas garis berbentuk segitiga
antara rusuk bagian belakang dan tonjolan pangkal tulang ekor sudah membentuk
kurva karena adanya penimbunan perlemakan pada pangkal tulang ekor. BCS dengan
skor 2 menunjukkan sapi tersebut kurus, tampak pertulangan pada beberapa
bagiannya. Ditambahkan pendapat Glaze (2009) yang menyatakan bahwa Body Condition Scores (BCS) umumnya dipakai angka 1-9 untuk mengukur dari
yang paling kurus hingga yang paling gemuk. Angka 1-3 untuk ukuran kurus, 4
untuk ukuran sedang, 5-7 untuk ukuran optimum dan 8-9 untuk ukuran gemuk.
2.1.5. Umur
Berdasarkan
hasil pengamatan umur sapi melalui gigi yang poel pada sapi jantan dari
masing-masing sapi yaitu pada sapi jantan potong 1 yaitu poel 2 yang berarti
berumur 2 tahun, sapi potong 2 yaitu poel 3 yang berarti umur 3 tahun serta
pada sapi perah jantan yaitu pada sapi perah 1
menunjukkan poel 2 yang berarrti berumur 2 tahun dan sapi perah 2 poel 1
yang berarti berumur 1 tahun. Hal ini sesuai pendapat Purnomoadi (2003) yang
menyatakan bahwa keadaan gigi dan pendugaan umur sapi dapat diketahui sebagai
berikut gigi seri susu dalam telah berganti dengan gigi tetap berumur 1,5-2
tahun, gigi seri susu dalam sudah berganti dengan gigi tetap berumur 2,5 tahun,
gigi seri susu tengah luar sudah berganti dengan gigi tetap berumur 3 tahun,
dan gigi seri luar sudah berganti dengan gigi tetap berumur 3,5 tahun.
Pengamatan dengan melihat poel dapat diketahui umurnya dengan semakin banyak
gigi yang powel maka semakin bertambah pula umurnya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Sulastri dan Sumadi (2012) yang menyatakan bahwa semakin tua umur
ternak, bentuk kekerasan gigi menjadi semakin lebar dan juga semakin tua umur
ternak, jarak antar gigi seri permanen semakin longgar atau renggang.
2.2. Judging Betina
2.2. Judging Betina
Berdasarkan
pengamatan performa ternak sapi betina, diperoleh hasil penilaian sebagai
berikut:
Tabel 2. Judging Ternak Betina
Kriteria
|
Sapi
Potong
|
Sapi
Perah
|
||
1
|
2
|
1
|
2
|
|
Postur
kaki
|
Normal,
lurus, kokoh
|
Normal,
lurus, kokoh, sejajar
|
Normal,
lurus, kokoh
|
Normal,
lurus , kokoh
|
Ambing
|
Sedang,
4 puting, simetris
|
Kecil,
4 puting, tidak simetris
|
Sedang,
4 puting, simetris
|
Kecil,
4 puting, tidak simetris
|
Kondisi
alat reproduksi
|
2
|
2
|
2
|
2
|
BCS
|
,3
|
5
|
4
|
2
|
Umur
|
2
|
1
|
4
|
2
|
Sumber:
Data Primer Praktikum Ilmu Reproduksi Ternak, 2013.
2.2.1. Postur Kaki
Berdasarkan hasil pengamatan pada kaki rata-rata memiliki
bentuk kaki yang normal dengan kaki yang lurus dan kokoh serta sejajar hal ini
menunjukkan bahwa indukan tersebut
merupakan bibit yang bagus. Hal ini
sesuai pendapat Syafrial et al., (2007) yang menyatakan bahwa kondisi awal dalam pemilihan
bibit yang baik yaitu bentuk kepala, tanduk dan kaki kelihatan lebih besar dan
kuat, bahu lebar serta tidak cacat. Hal ini sesuai pendapat Fikar dan Dadi
(2010) yang menyatakan bahwa kondisi kaki sangat penting bagi sapi betina
karena dibutuhkan untuk menopang saat terjadi kebuntingan.
2.2.2. Ambing
Ambing pada sapi potong 1 dan sapi perah satu
dihasilkan ukuran ambing sedang, memiliki 4 puting dan simetris. Kondisi ini
menunjukkan sapi tersebut mendekati kondisi ideal. Hal ini sesuai pendapat
Fikar dan Dadi (2010) yang menyatakan bahwa bentuk ambing relatif besar,
letaknya simetris, dan mempunyai puting sebanyak 4 buah. Sementara pada sapi
potong 2 dan sapi perah 2 memiliki bentuk ambing kecil, terdiri dari 4 puting
dan tidak simetris yang dapat berakibat menurunkan produksi susu yang
dihasilkan. Ditambahkan oleh pendapat Blakely dan Bade (1991) bahwa ambing
merupakan kelenjar kulit yang ditumbuhi bulu kecuali pada puting, empat saluran
susu yang terpisah bersama menuju ambing.
2.2.3. Kondisi Alat Reproduksi
Alat
reproduksi kondisinya rata-rata normal dan lengkap sehingga memiliki kemampuan
untuk perkawinan. Vulva yang normal ditandai dengan kondisi vulva yang tidak
miring atau sesuai sehingga membuat hasil perkawinan lebih berkualitas. Hal ini
sesuai pendapat Fikar dan Dadi (2010) yang menyatakan bahwa betina yang
berkualitas ditandai dengan kemiringan vulva tidak terlalu ke atas. Ditambahkan
pendapat Salisbury dan VanDemark (1986) bahwa pada perkawinan secara alamiah
penis masuk ke dalam alat reproduksi betina melewati vulva, dan pada waktu
melahirkan anak sapi melewatinya.
2.2.4. BCS
Berdasarkan
hasil pengamatan dapat diketahui nilai BCS yang paling bagus yaitu sapi potong
lima dengam skor 5 diman a kondisi
badannya gemuk dan besar. Hal ini sesuai pendapat Awalludin dan Tanda (2010) skor
kondisi tubuh 5 dengan kerangka tubuh dan struktur pertulangan yang tidak
terlihat dan tidak teraba dan tulang pangkal ekor sudah tidak terlihat karena
tertimbun lemak. Sementara pada sapi yang lain kondisi BCS-nya sapi potong 1
yaitu 3, sapi perah 1 yaitu 4 dan sapi perah 2 yaitu 2. Untuk kriteria BCS 2
dan 3 tidak bisa dikatakan sebagai sapi unggul karena masih terdapat kekurangan
misalnya tampak pertulangan dan tubuh agak kecil. Ditambahkan p endapat Sinaga (2009) yang menyatakan bahwa penilaian sapi induk dapat
dilihat dengan cara melihat kondisi tubuh dari ternak, dada penuh daging, luwes
dan lain-lain.
2.2.5. Umur
Berdasarkan hasil pengamatan pada
umur melalui gigi yang poel dapat diketahui bahwa pada sapi betina potong 1
poel 2 yang berarti berumur 2 tahun, sapi betina 2 poel 1 yang berarti berumur
1 tahun serta pada sapi betina perah 1 poel 4 yang berarti berumur 4 tahun dan
sapi betina perah 2 poel 2 yang berarti berumur 2 tahun. Hal ini sesuai
pendapat Purnomoadi (2003) yang menyatakan bahwa keadaan gigi dan pendugaan
umur sapi dapat diketahui sebagai berikut gigi seri susu dalam telah berganti
dengan gigi tetap berumur 1,5-2 tahun, gigi seri susu dalam sudah berganti dengan
gigi tetap berumur 2,5 tahun, gigi seri susu tengah luar sudah berganti dengan
gigi tetap berumur 3 tahun, dan gigi seri luar sudah berganti dengan gigi tetap
berumur 3,5 tahun. Pengamatan dengan melihat poel dapat diketahui umurnya
dengan semakin banyak gigi yang powel maka semakin bertambah pula umurnya. Hal
ini sesuai dengan pendapat Sulastri dan Sumadi (2012) yang menyatakan bahwa
semakin tua umur ternak, bentuk kekerasan gigi menjadi semakin lebar dan juga
semakin tua umur ternak, jarak antar gigi seri permanen semakin longgar atau
renggang.
2.3. Recording
Reproduksi
Recording merupakan pencatatan terhadap ternak secara indivdu yang menunjukkan
pertumbuhan dan perkembangannya. Macam-macam
recording yaitu identitas yang berfungsi untuk mempermudah dalam pengenalan
ternak, catatan khusus agar memudahkan
bagi perawat ternak untuk melakukan penanganan dan mengurangi terjadinya
kesalahan. Manfaat recording dalam reproduksi ternak yaitu
memudahkan dalam melakukan seleksi ternak, menghindari terjadinya inbreeding,
menjadikan pekerjaan lebih efektif dan efisien, menghindari dan mengurani
kesalahan manajemen pemeliharaan, pengobatan, pemberian pakan ataupun produksi
semen serta memudahkan pengenalan terhadap ternak. Hal ini sesuai dengan
pendapat Santosa (1997) yang menyatakan bahwa recording merupakan pencatatan ternak yang bertujuan untuk
mengetahui asal usul ternak yang dipelihara, sehingga nantinya diharapkan tidak akan diharapkan ternak yang mengalami inbreeding. Recording dapat memudahkan tata laksana
selanjutnya pada ternak, memudahkan pengontrolan dan memudahkan peningkatan
mutu genetik. Syarief dan Sumoprastowo (1985)
menambahkan bahwa pencatatan atau recording
tidak terlepas dari salah satu pelaksanaan pemberian tanda pengenal ternak
berupa nomor telinga, tanduk, tato cap bakar, kalung bernomor, dan sebagainya.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan
pembahasan praktikum ilmu reproduksi ternak dengan materi pemilihan indukan dan
pejantan yang unggul dapat disimpulkan bahwa sapi betina dan pejantan yang
digunakan dalam praktikum memiliki kriteria yang bagus karena mempunyai skor
rata-rata 3 sehingga dapat dijadikan sebagai bibit yang unggul yang diharapkan
dapat menghasilkan keturunan yang baik.
5.2. Saran
Praktikum Ilmu Reproduksi
Ternak dengan materi pemilihan indukan dan pejantan yang unggul sebaiknya
praktikan lebih berhati-hati dalam penilaian kondisi tubuh terhadap ternak agar
ternak tersebut tidak terganggu dan stres. Selain itu, praktikan diharapkan
teliti dalam penilaian kondisi tubuh terhadap ternak agar didapatkan hasil yang
akurat.
Awalludin dan P. Tanda. 2010. Pengukuran Ternak Sapi
Potong. Balai Pengkajian Teknologi Peranian, NTB.
Blakely, J. dan D, Bade. 1991.
Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Fikar, S dan D. Ruhyadi. 2010. Beternak dan Bisnis
Sapi Potong. Agro Media Pustaka, Jakarta.
Frandson, R.D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak
Edisi 4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Glaze, J.B.
2009. Body Condition Scores (BCS) in
Beef Cattle. http://osufacts.okstate.edu/bcs_pres_carl.pdf[01Oktober2009].
Guntoro,
S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Jakarta
Purnomoadi,
Agung. 2003. Ilmu Ternak Kerja dan Potong. Universitas Diponegoro. Semarang
Salisbury dan N.L. VanDemark. 1986. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi
Buatan. UGM Press, Yogyakarta
Santosa, U. 1997. Prospek
Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya, Jakarta
Sinaga, S. 2009. Judging dan Seleksi. Unpad.ac.id
Sulastri
dan Sumadi. 2012. Pendugaan Umur Berdasarkan Kondisi Gigi Seri Pada Kambing
Etawah di Unit Pelaksanaan Teknis Ternak Singosari. UGM dan Universitas Lampung
Syafrial. E, E. Susilawati dan Bustami. 2007. Manajemen
Pengelolaan Penggemukan Sapi Potong. Departemen Pertanian.
Syarief, M. Z. dan C. D. A. Sumoprastowo. 1985. Ternak
Perah. CV. Yasaguna, Jakarta
Wiyono, D Budi dan Aryogi. 2007. Petunjuk Teknis
Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Pasuruan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar